TAKALAR, TURUNGKA.COM - Pernah suatu malam,
aku duduk di kamar bersama seorang kawan dari kampung yang sama. Dia lebih tua
dariku. Aku memanggilnya abang. Sudah beberapa tahun menjadi sarjana namun
belum bekerja.
Kami berdiskusi mengenai banyak hal. Mulai soal
buku, persoalan filsafat, masalah agama, sampai pengalaman abang ini selama
bertualang di Jakarta. Persoalan politik nasional dan daerah kami diskusikan
sampai waktu dini hari, termasuk masalah remeh-temeh yang pernah kami alami.
Di antara masalah yang remeh-temeh itu ada satu hal yang masih membekas dalam benak kami sebagai sesuatu yang perlu diluruskan, sebab sampai sekarang hal itu masih menjadi konsumsi fatal masyarakat di kampung kami.
Di antara masalah yang remeh-temeh itu ada satu hal yang masih membekas dalam benak kami sebagai sesuatu yang perlu diluruskan, sebab sampai sekarang hal itu masih menjadi konsumsi fatal masyarakat di kampung kami.
Boleh jadi hal ini pun berlaku di tempat-tempat
lain. Bahwa ada konstruksi nalar di tengah-tengah masyarakat yang menunjukkan
ukuran kemanusiaan seseorang itu dilihat dari ada tidaknya pekerjaan.
Ketika seorang pemuda telah memperoleh pekerjaan
maka menurut cara berpikir dan justifikasi eksistensial di atas, orang tersebut
sudah "menjadi manusia".
Jadi ada semacam reduksi makna kemanusiaan,
diturunkan dari totalitas nilai-nilai arkhaik universal kemanusiaan meluncur
tergerus menjadi seonggok identitas mekanis: pekerja!
Seolah-olah hal kenyataan sebaliknya adalah
kutukan yang tak terobati sebagai luka sosial.
Bekerja adalah suatu kebaikan. Karl Marx mengatakan bahwa dengan bekerja, seseorang dapat merealisasikan keberadaannya di dalam struktur sosial kapitalisme industrial.
Bekerja adalah suatu kebaikan. Karl Marx mengatakan bahwa dengan bekerja, seseorang dapat merealisasikan keberadaannya di dalam struktur sosial kapitalisme industrial.
Bekerja dapat mencegah seorang buruh dari
alienasinya ketika marjin keuntungan atau nilai lebih dari satuan barang yang
diproduksinya itu bisa dibawa pulang sebagai upah yang rasional kompatibel
dengan jumlah jam bekerja.
Bekerja adalah praktek pembebasan menuju
humanisasi. Sama halnya dengan Max Weber yang mengatakan bahwa bekerja adalah
suatu aktivitas yang berdimensi ruhaniah.
Bekerja berarti memproyeksikan secara progresif
visi surgawi di atas bumi. Bekerja adalah tindakan bermotif ekonomis sekaligus
berdimensi sosial, budaya, politik dan etis. Berarti bekerja adalah kegiatan
yang konstruktif bagi kehidupan.
Bekerja dalam pengertian standar di atas adalah soal yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi masalah adalah pemaknaan bekerja oleh masyarakat yang mulai digeserkan dari sekedar istilah fungsional menjadi istilah khusus yang menitik beratkan pada apresiasi sepihak dimensi prestise kultural.
Bekerja dalam pengertian standar di atas adalah soal yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang menjadi masalah adalah pemaknaan bekerja oleh masyarakat yang mulai digeserkan dari sekedar istilah fungsional menjadi istilah khusus yang menitik beratkan pada apresiasi sepihak dimensi prestise kultural.
Bekerja sudah dilihat melampaui standar-standar
pemaknaan asalinya. Bekerja bukan lagi sebagai bekerja, akan tetapi sudah
menyangkut desakan pemenuhan hasrat akan pengakuan publik atas dirinya. Bekerja
sudah kembali menjadi arca-arca urba yang disembah tanpa reserve rasionalitas
dan originalitas.
Kami lalu meneruskan diskusi malam itu untuk
menggugat makna di balik jargon masyarakat kami yang berbunyi: "menjadi
manusia itu ketika menjadi PNS, kalau bukan PNS, seseorang haruslah menjadi
pekerja berduit super banyak, supaya bisa diakui sebagai manusia"
Ruz’an Hasyimov
Lauconsina
Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Kehutanan
Provinsi Maluku
0 komentar:
Posting Komentar