TAKALAR, TURUNGKA.COM - Kematian acapkali kita percakapkan sebagai negativitas kehidupan
dan kedirian. Yang pertama, kematian ada sebagai ketiadaan hidup. Yang kedua,
kematian ada sebagai ketiadaan diri.
Kematian dalam pengertian yang kedua ini, hanya terjadi pada
makhluk hidup yang mengenal konsep “aku”; dan sejauh permenungan kita, hanya
manusia yang termasuk dalam kategori ini.
Aku-mati, karena itu, adalah tubuh yang kehilangan referensi
sosialnya. Ketika aku-sosial berhenti, maka energi antropologis tubuh juga
menguap. Meski selalu saja ada kenangan yang tertinggal di sana, lalu tumbuh
dalam referensi baru: “pikiran”, “karya intelektual”, “cita-cita”, atau
“teladan” beliau, dan seterusnya.
Sebab dalam perspektif metafisika, aku-yang-aku tidak sekadar
tubuh. Biografipun ditulis bukan untuk mengenang si mati, tapi justru
untuk menyiasati dan menyubsidi kehidupan. Di situ, kematian lebih merupakan
kepentingan mereka yang hidup.
Ludwig Wittgenstein, dalam magnum opusnya Tractatus Logico-Philosophicus (1951) bahkan menyebut jika kematian adalah “misterium”: Sebuah realitas tak tercakapkan dan mutlak terdiamkan (be silent) karena “melampaui” dan berada “di luar” dunia.
Itu sebab, dalam doktrin keruhanian Islam dan agama serta tradisi
otentik lainnya, kematian dilukiskan sebagai “pintu” dan jalan “pulang” menuju
ke Titik Asal.
Bukankah makna sebuah pintu terletak pada “kekosongan” yang
disodorkannya. Kekosongan, yang sejauh ini dipandang remeh, ironi, sepele, dan
tak berguna, justru menemukan maknanya dalam kematian.
Di sini kekosongan tidak identik dengan kehampaan, tapi jalan
keniscayaan sang-aku dalam menemukan kembali jejak Asal-Usulnya. Itu sebab,
dalam literasi nusantara, kematian disebut juga “berpulang” atau “kembali”.
Karena, pada intinya setiap orang yang berhasil pulang selalu tiba pada titik
dimana ia berangkat.
Kemarin, permenungan kematian itu kembali menggugat nurani saya, menyusul “sms” Professor Moch. Qasim Mathar di subuh gelap jelang fajar: “...Kembali ke rahmatullah kawan, cendekiawan, dan kolumnis muda kita, Dr. Ahyar Anwar (dosen UNM): Allahumma-gfirlahu war-hamhu wa’fuanhu.”
Ahyar Anwar --dan juga kita kelak, telah memasuki pintu
kepastian itu. Lamat-lamat ada pesan kuat yang mengalir di sana: ide tentang
pulang mengandaikan kesigapan dan bekal. Sebab itu, “pulang” bukan hanya urusan
orang-orang yang akan pulang, tapi juga mereka yang mau “berangkat.”
Kematian, seperti halnya ironi dan canda, bisa merupakan kejutan-kejutan kecil yang tak berencana tapi berharga. Selamat jalan Bung Ahyar. Selamat pulang ke Titik Berangkat: Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Dr. Muhammad Sabri AR, M.A., Direktur CBP UIN Alauddin Makassar. Sekretaris Majelis Pimpinan Wilayah Kahmi Sulawesi Selatan
0 komentar:
Posting Komentar