TAKALAR, TURUNGKA.COM - Dalam sebuah
acara silaturahim beberapa waktu yang lalu, seorang guruku berseloroh bahwa
caleg (calon anggota legislatif) itu seperti ayam betina yang mau
bertelur.
Ayam, jika ingin bertelur, hampir setiap saat suaranya terdengar
nyaring berkotek-kotek, ayam tersebut sepertinya memamerkan kepada ayam yang
lain, bahwa sebentar lagi ia akan bertelur. Tetapi begitu ia mengerami
telurnya, suara si ayam tak pernah lagi bisa terdengar.
Seperti itu pula fenomena caleg di negeri ini yang perilakunya
hampir dan mungkin sama dengan si ayam betina tersebut. Pada masa-masa
pencalegan, para caleg tersebut ramai-ramai memasang dan memajang foto, baliho
dan stiker mereka dimana-mana.
Hampir seluruh ruas jalan raya di setiap kabupaten, sampai ke
pelosok desa terpencil sekalipun sekarang ini, banyak dipenuhi oleh spanduk dan
poster serta banner para caleg yang akan bertarung pada pemilu legislatif tahun
2014 , memperebutkan kursi panas, menjadi anggota dewan, baik DPR pusat, DPRD
propinsi maupun tingkat kabupaten.
Lebih mengherankan lagi sekaligus menggelitik, saya pernah
menjumpai sticker seorang caleg yang ditempel di sebuah kuburan. Bukan hanya
foto/gambar yang terpampang, slogan, motto ataupun visi misi mereka, juga
dipajang di situ, sebagai penguat bagi konsituen yang akan memilih mereka saat
pileg (pemilihan legislatif) mendatang.
Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan absah untuk
dilakukan, sebagai sebuah bentuk sosialisasi kepada masyarakat. Akan tetapi,
hal ini belum mencerminkan sebuah kemajuan dalam dunia perpolitikan, bahkan
terkesan boros dan hanya membuang-buang duit.
Karena setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, ritual semacam itu
yang terus berlaku tanpa ada sedikit pun proses pendidikan politik yang lebih
maju. Apatah lagi jika senyum dari para caleg yang terpajang di baliho maupun
spanduk mereka adalah senyum palsu yang membawa luka, dan motto mereka adalah
slogan yang penuh tipu daya, alih-alih memperjuangkan nasib rakyat, malah
mereka yang akan menikam dan memakan rakyat yang notabene adalah yang mereka
suarakan aspirasinya.
Sistem demokrasi yang mulai mengalami kemajuan sekarang ini, tidak
dibarengi dengan sikap dewasa dari para calon petarung (caleg) terlebih dari
partai yang mengusungnya.
Mereka masih menggunakan cara-cara lama untuk mempengaruhi
massa/rakyat maupun konsituen untuk meraih simpati mereka. Misalnya bagi-bagi
sembako, dengan dalih sebagai sedekah, tetapi maksud dan niatnya agar dipilih
saat hari pemilihan, dan yang sangat menyedihkan adalah masih berlangsungnya
praktek money politic (politik uang).
Setali tiga uang dengan para caleg, para konsituen/rakyat sebagai
pemilih, belakangan ini sudah merasa acuh tak acuh, bermasa bodoh dengan
perhelatan demokrasi tersebut, alih-alih mereka akan memilih calon anggota
dewan yang baik serta berkualitas, malah mereka akan memilih, caleg yang banyak
memberi mereka “sedekah” menjelang pemilihan.
Karena ada sebuah kekhawatiran dari masyarakat kita, berdasarkan
pengalaman mereka, bahwa yang dipilih tidak pernah mewakili dan menyuarakan hak
mereka, sehingga system demokrasi yang berlangsung sekarang ini, seperti sebuah
lingkaran setan ini pun tak pernah terputus.
Seharusnya, partai atau caleg tidak hanya memberikan ikan kepada
masyarakat pemilih, tetapi mampu meransang kecerdasan masyarakat dengan
memberinya kail dan umpan, untuk menangkap ikannya.
Ahmad Rusaidi, S.Pd.I. Guru PNS pada SMA
Negeri 2 Polongbangkeng Utara Kab. Takalar. Sekretaris Umum Pimpinan Cabang
Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar 2013 – 2015.
0 komentar:
Posting Komentar