TAKALAR, TURUNGKA.COM - Dengan muka kusut masai,
La Capila menyambangi rumah gurunya, I Mapesona yang sederhana di kaki Gunung
Bawakaraeng. Ketika muridnya tiba, I Mapesona sedang duduk di teras rumah
panggungnya yang dikelilingi oleh beragam pepohonan hutan sambil menikmati sepiring
singkong rebus dan segelas kopi kental yang keduanya masih mengepul.
“Bagaimana
kabarmu duhai muridku yang aku sayangi? Kenapa dirimu yang masih muda itu,
kelihatan demikian gundah? Apa yang merisaukan keceriaan masa mudamu muridku?”
Tegur I Mapesona.
“Kabar
saya baik duhai guru, semoga engkau pun begitu,” jawab La Capila sepantasnya.
“Lalu
kenapa muka muridku yang gagah ini menjadi seperti kain lusuh yang tak pernah
dibilas?” Tanggap I Mapesona sambil berdiri, menghampiri La Capila, lalu
mengelus rambut muridnya dengan lembut.
La
Capila terdiam mendengarkan pertanyaan gurunya yang bijak itu. Pagi itu, kicau
burung yang begitu riang tak begitu dinikmati olehnya. Kepalanya terpekur
menikmati usapan lembut di kepalanya. Tapi tak lama, akhirnya dia bicara juga,
tak tahan memendam kalimat yang seakan ingin meloncat dari tenggorokannya.
“Maafkan
muridmu yang bodoh ini guru, setelah meninggalkan tempat ini tiga tahun silam,
muridmu ini merasa betapa rumitnya hidup ini,” keluh La Capila.
“Gerangan
masalah hidup apa yang sedang engkau hadapi muridku?” Tanya I Mapesona sambil
berjalan ke bangku kayunya lalu menyeruput pelan kopinya.
“Saya
merasa sudah bekerja keras duhai guru, tapi nyatanya, saya belum juga merasa
hidup ini menjadi lapang, malah terasa makin sesak.” Kesah La Capila.
Mendengar
keluh muridnya, I Mapesona hanya tersenyum dan mengangguk-angguk kecil.
“Terkadang
saya berfikir, hidup ini berlaku kurang adil. Kok ada sebagian yang diberikan
rezeki berlimpah, dan ada yang serba kekurangan,” kembali La Capila mengadu.
Bukannya
menjawab keluh muridnya, I Mapesona malah balik bertanya.
“Masihlah
kau ingat lagu ‘Cicak Di Dinding’ yang ditulis oleh AT Mahmud duhai muridku?”
“Tentu saja
saya masih mengingatnya duhai guruku, bukankah engkau sering menyanyikannya
dengan sangat merdu dahulu ketika saya masih kecil?” Tanggap La Capila.
“Maukah
engkau menyanyikan lalu itu bersamaku sekarang?” Tanya I Mapesona.
Dengan
muka bingung, La Capila menatap gurunya ragu, tapi tetap juga dia menyanggupi permintaan
gurunya.
“Baiklah
guru, mari kita bernyanyi bersama.”
Cicak-cicak
di dinding
Diam-diam
merayap
Datang seekor nyamuk
Hap,
lalu ditangkap
“Coba
perhatikan baik-baik lagu tersebut muridku, pelajaran apa yang bisa kau ambil
darinya?” Tanya I Mapesona setelah mengulang lagu itu sebanyak tiga kali.
“Maafkan
muridmu yang dungu ini duhai guru, saya hanya memahami lagu itu sekedar sebagai
lagu pengantar tidur,” jawab La Capila dengan bingung.
“Cicak itu
adalah binatang yang merayap, ternyata dia ditakdirkan untuk memakan nyamuk,
binatang yang terbang. Pernahkah engkau pikirkan kerumitan ini?” Tanya I
Mapesona, La Capila hanya terdiam.
“Betapa
seekor binatang merayap, memangsa binatang yang terbang. Tapi apakah cicak
pernah mengeluh!?” Suara I Mapesona terdengar tegas.
“Coba
bandingkan dengan sebagian besar manusia, baru menghadapi sedikit saja masalah
dalam hidupnya, dia sudah merasa sebagai orang yang paling tidak beruntung.
Beragam keluhan yang terlontar dari mulutnya, bahkan tak jarang mereka memaki
Tuhan.” Mendengar kata-kata gurunya, La Capila kian terpekur.
Muhammad Kasman, SE., Pimpinan Redaksi TurungkaNews
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah Universitas Hasanuddin
0 komentar:
Posting Komentar