TAKALAR, TURUNGKA.COM - Beberapa
hari terakhir, kita dikagetkan dengan informasi tentang Ketua Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar tertangkap tangan sedang melakukan transaksi kasus
bersama seorang legislator DPR RI, anggota Partai Golkar, Chairunnisa.
Bila
apa yang dituduhkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi itu benar, maka ini
merupakan guncangan besar bagi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita
yang mengklaim diri sebagai negara hukum, sekaligus sebagai negara yang
berketuhanan.
Akil
Mochtar, seorang yang begitu paham dengan segala hal yang terkait hukum. Chairunnisa,
selain legislator, dia juga bendahara di organisasi para ulama, Majelis Ulama
Indonesia. Tapi nyatanya, kedua orang ini juga tetap melibatkan diri dalam
tindak pidana korupsi.
Ini
menunjukkan kepada kita bahwa pemahaman mendalam terhadap hukum, posisi
terhormat secara sosial, bahkan pemahaman keagamaan yang lebih baik, tidak
menjadi jaminan seseorang untuk melakukan korupsi, mencuri, atau pelanggaran
hukum lainnya.
Tapi
kita juga tidak bisa mengatakan bahwa mereka yang korupsi, mencuri, atau
melakukan pelanggaran hukum lain menjadi mendapatkan permakluman. Begitupun
dengan mereka yang korupsi atau mencuri dengan jumlah nominal kecil, tak bisa
menjadi alasan permakluman.
Korupsi
itu bukan soal jumlah berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan, mencuri
itu bukan soal apa dan berapa banyak yang dia curi, melanggar hukum itu bukan
soal besar dan kecil pelanggarannya.
Korupsi,
mencuri, dan melanggar hukum, adalah soal moralitas tingkah laku, soal apakah
tindakan itu dilakukan atau tidak. Sekali dilakukan, maka pelakunya termasuk
pelanggar moral. Tidak soal berapa banyak yang dia curi atau korupsi.
Kejadian
tertangkap tangannya Akil Mochtar dan Chairunnisa menjadi bukti nyata bahwa kesadaran
kita untuk taat hukum pada tataran personal, sangat lemah. Memang, kita sudah
berusaha untuk membuat hukum untuk semua sisi kehidupan kita, tapi kita alpa
untuk taat pada hukum kita sendiri.
Semua
aktivitas kita, berusaha kita hiasi dengan beragam aturan hukum. Namun dengan
sengaja kita juga melanggarnya sendiri tanpa rasa malu. Kita memoles hipokrisi
dengan cantik, menarik, dan tanpa cacat. Kita menjelma menjadi mahluk munafik
yang maha munafik.
Maka
satu-satunya jalan untuk menjaga kewarasan di tengah kumpulan manusia hipokrit
hanyalah dengan jujur pada diri sendiri, berusaha untuk taat hukum bukan karena
kepentingan publikasi dan pencitraan.
Kita
taat hukum karena hukum hadir memang untuk ditaati, dan tak perlu ada alasan
untuk itu. Kita taat hukum sebagai manifestasi kejujuran pada diri sendiri, sebab
seperti slogan Komisi Pemberantasan Korupsi, “Berani Jujur, Hebat!”
~ Muhammad Kasman ~
~ Muhammad Kasman ~
0 komentar:
Posting Komentar