TAKALAR, TURUNGKA.COM - “Aku ingin melukis matamu Maniez,” kata Nyonya Fergusson.
Ia belum paham apa maksud nyonya paruh baya yang masih menyimpan kuat gurat
kecantikannya ini.
“Melukis saya?” tanya Maniez.
“Hanya mata? Kok?” Maniez belum mengerti.
“Tentu akan aku lukis juga cadar yang menutupi wajah
cantikmu, tetapi itu sekedar bingkai, Maniez. Matamu lukisan yang
sesungguhnya,” jawab Nyonya Fergusson.
Walau hatinya masih meragu, Maniez menurut saja ketika
tangannya ditarik masuk oleh nyonya yang baik hati itu. Maniez tak mengira bila
dibelakang kemungilan tokoh cenderamata milik pasangan Fergusson ini terbentang
studio yang cukup luas.
“Ini semua lukisan Nyonya?” tanya Maniez.
“Betul, bagaimana menurutmu?” Nyonya Fergusson balik bertanya.
Anggukan Maniez menjadi jawaban. Tampaknya itu memuaskan
nyonya rumah. Tapi jujur, Maniez menganggap lukisan karya Nyonya Fergusson yang
hampir semuanya menampilkan wajah seseorang adalah karya yang bagus. Terutama
lukisan wajah sang suami yang begitu hidup dengan pahatan keriput yang menambah
wibawa itu.
“Nyonya seorang profesional?” tanya Maniez.
“Tidak juga. Ah, sudah tepat kiranya posisimu, coba tahan
sebentar Maniez,” pinta Nyonya Fergusson yang sedang mulai sibuk menarikan
kuas.
“Lantas berapa saya harus membayar Nyonya?” Suara Maniez
meragu.
“Ha-ha-ha, anak manis. Kau tak perlu membayar apapun
untuk ini. Seharusnya akulah yang membuka gua harta karunku bila aku punya,
untuk kesempatan seperti ini. Kau begitu indah Maniez,” puji Nyonya Fergusson.
Maniez bergumam, dapatkah seseorang dikatakan indah dengan melihat matanya
saja? Hanya sampai beberapa lama ia masih saja heran mengapa ia bisa terdampar
di studio keluarga Fergusson.
Masalahnya, Maniez bukan saja tidak mengenal Nyonya
Fergusson sebagai pelukis, ia juga nyaris kenal nama saja dengan wanita itu.
Maniez mulai mengenal baru satu setengah bulan yang lalu tatkala ia baru pindah
ke kawasan ini. Setiap pagi, Maniez pasti melewati toko cenderamata milik
keluarga Fergusson. Wajah ramah yang jelita dibalik kaca yang sesekali terlihat
itulah, yang membuat Maniez selalu mengucap salam bila bertemu. Berawal dari tukar salam itulah Maniez
mengenal pemilik toko tersebut. Tak pernah
lebih dari itu.
“Mengapa Nyonya ingin melukis mata saya?” selidik Maniez.
Nyonya Fergusson tidak langsung menjawab. Kuas yang baru
dipakainya digigitkan ke mulut. Tangannya meraih kuas yang lebih kecil. Dengan
suara yang tidak begitu jelas, karena terhalang kuas ia bersuara.
“Mengapa Maniez? Mungkin aku tidak tahu mengapa. Aku hanya
ingin melukis karena aku ingin melukis. Hmm, jawaban ini mungkin tidak
memuaskan, ya? Begini, begitu aku pertama bertemu denganmu, matamu telah
memikatku, karena hanya itu yang dapat kulihat walau sangat asing bagiku. Daya tariknya begitu kuat, sehingga dorongan
ini harus aku tuangkan dalam lukisan,” kata Nyonya Fergusson.
“Ada apa dengan mata saya, Nyonya?” Maniez kembali
bertanya.
\“Itulah yang aku tidak bisa katakan Maniez. Aku pelukis
bukan penyair ataupun pembuat novel. Yang kurasakan mengalir dalam gerak
kuasku. Nah sekarang kau boleh beristirahat. Memang belum jadi, tapi tinggal
sentuhan akhir. Kalau kau mau kau boleh melihatnya.”
Maniez beranjak mendekat. Ternyata Nyonya Fergusson hanya
menggunakan warna hitam yang dimainkan dengan luar biasa. Sekilas lukisan ini
mirip karya drawing. Diamatinya lukisan potret dirinya. Atau lebih tepatnya potret matanya.
“Apakah ini betul wajah, eh, mata saya Nyonya?”
“Mengapa kau bertanya demikian? Tidak miripkah?”
“Bukan begitu. Mengapa mata ini begitu lain? Saya tidak
yakin ini mata saya. Begitu asing rasanya,” ujar Maniez.
Nyonya Fergusson hanya tersenyum.
“Bagiku itu matamu Maniez, tetapi kau boleh tidak setuju,
tentu saja.”
“Apa artinya saya belum mengenal diri saya sendiri? Betul
begitu Nyonya? Nyonya seorang seniman dan saya yakin seniman lebih peka dari
yang lain,” kejar Maniez.
“Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, putriku.”
“Ada apa dengan mata saya Nyonya?”
“Ah, kau mengulang pertanyaan yang sama yang tak bisa
kujelaskan. Wah, aku malah membuatmu cemas seperti ini. Duhai sayang, ayolah.
Ini sekedar aksi seniman iseng yang lagi suka memaksa. Bagaimana kalau kita
kedepan dan kita nikmati kue-kue kiriman Peony, keponakanku. Tentu sedap sore
begini mengudap kue lezat berteman teh
manis hangat. Eh, maaf ibu lupa kalau kamu tak bisa makan disini,
jadi ibu bungkus saja ya?” Ibu harap tiba dirumah nanti Maniezku mencicipinya.
Bagaimanapun keramahan serta kepandaian nyonya rumah
membujuk, tak cukup perkasa untuk mengusir rasa aneh yang menjalari Maniez.
Sensasi hari ini menyergap tanpa aba-aba.
Ketika Maniez berpamitan, Nyonya Fergusson menjanjikan
pada Maniez bahwa ia boleh menyimpan potret dirinya bila karya itu telah
selesai. Seperti yang sudah-sudah Maniez hanya menurut.
Dalam perjalanan pulang ke asramanya, sensasi yang
dialaminya terasa semakin menyusup jauh kealiran darah Maniez. Mata, ada apa
dengan mataku? Gumam Maniez tak putus. Gumam itu juga yang mengantar
kenangan-kenangan lama muncul menyeruak ke atas. Semua melintas dengan cepat, terkadang
jernih, tetapi tak jarang pula buram, tak tentu bentuk. Tentang desa kecil yang
ditinggalkan, tentang ibunya yang tak pernah tergapainya, tentang impian
remajanya yang kandas, tentang harapan-harapan barunya ketika ia memutuskan
pindah, dan tentang apa saja.
Tapi tentang mata, belum.
“Matamu bercerita banyak, Maniez,” ujar Nyoanya Fergusson
saat menyerahkan karyanya.
“Apakah itu tentang kepedihan, Nyonya?” Tanya Maniez.
“Apakah hidup seseorang hanya berputar disitu, Maniez?
Tentu tidak, bukan?” Sang nyonya rumah balas bertanya.
“Entah Nyonya, tapi rasanya . . .”
“Kau tak perlu bercerita kalau kau tak ingin, Maniez. Aku
pelukis bukan psikiater. Bukan aku menolak menjadi temanmu. Maksudku bila kau
tak ingin bercerita sekarang, itu tak apa. Tetapi kau tahu pintu itu selalu
terbuka untukmu.”
“Terima kasih, Nyonya,” kata Maniez sembari mencium
lembut pipi Nyonya Fergusson.
Sesampainya di kamar, Maniez membuka lukisan potret
matanya yang kini telah terbingkai indah. Setiap kali ia menatap mata di lukisa
itu, ia merasa terganggu. Mata itu baginya menuntut begitu banyak jawaban.
Bukan, bukan menuntut tepatnya. Meminta?
Ah, tidak juga. Mendamba . . ., ya mungkin mendamba. Tapi apa yang didamba mata
itu?
Maniez terdiam. Lama. Ia tahu apa yang di damba mata itu,
tetapi ia merasa lebih baik menyimpan untuknya sendiri. Ia menghadap cermin dan
meletakkan lukisan itu di depannya. Sekarang ia tidak saja terganggu, tetapi ia
mulai tersiksa. Lukisan itu membuatnya merasa telanjang dan berdosa.
Ia mulai menangis. Lirih. Panjang. Setelah gerimis mereda
Maniez bergumam, cukup anda saja Nyonya Fergusson. Tetapi harapan Maniez
meleset. Tanpa diduganya Nyonya Fergusson membuat repro dari karyanya sendiri
dan diikutsertakan dalam pameran seni rupa tahunan dikota itu. Sekalipun bukan
lukisan yang asli, repro itu telah merampas perhatian pengunjung. Para juri
sepakat untuk memberi penghargaan khusus bagai lukisan berjudul Mata itu
karya Nyonya Fergusson.
Bukan itu saja. Semua pengunjung pameran yang artinya
hampir semua penduduk kota tersebut, terpikat oleh lukisan itu. Kesan yang
timbul bermacam-macam tetapi semuanya sepakat untuk kagum pada lukisan mata dan
pemiliknya. Karena kota itu tidak terlalu besar, tidak sulitlah kiranya bagi
mereka untuk menemukan mata siapa yang ada di Mata itu.
Apalagi, Maniez adalah satu-satunya perempuan yang
berpenampilan lain daripada yang lain dengan tubuh tertutup oleh jilbab yang
panjang dan wajah ditutup dengan cadar terkecuali matanya. Maniez tak
ketinggalan dari perempuan-perempuan berkarier. Maniez adalah seorang aktivis
perempuan yang terkenal dimana-mana. Tak jarang Maniez turun ke jalan
meneriakkan aspirasi rakyat, berkhotbah didepan para pramuria untuk memberikan
penyadaran akan eksistensi mereka sebagai perempuan, dan bahkan banyak tulisan
Maniez yang menusuk sampai ke pemerintahan pusat serta rencana Maniez yang
terakhir adalah membentuk sebuah partai yang visi dan misinya tidak bias
gender. Maniez berjanji jikalau nanti Tuhan menobatkannya sebagai Presiden,
InsyaAllah tak ada lagi perempuan cerdas yang mengnggur karena alasan dia
berjilbab, tak ada lagi pelecehan seksual, dan tak ada lagi Marsina-Marsina
baru serta tak ada lagi ketidakadilan.
Maniez sendiri ternyata datang menonton pameran itu,
walaupun semula niatnya sekedar mengisi waktu luang. Pengunjung yang kebetulan
datang bersamaan dengan Maniez bagai tersihir. Ohh, jerit mereka serempak
tertahan. Mata itu nyata! Ia hidup. Ketika hujan pandangan menusuknya dengan
deras, Maniez baru sadar ternyata mata itu adalah miliknya.
Pameran itu telah lama berlalu. Daun-daun mulai
berguguran dan Maniez tak pernah lagi melewati toko keluarga Fergusson. Tetapi,
keriuhnya tak berhenti mengepungnya. Teman-teman kuliahnya memandangnya dengan
berbeda. Demikian juga dengan tetangga serta orang-orang yang kebetulan bertemu
dengannya. Semua memerlukan berbicara padanya, dengan atau tanpa berkata-kata.
“Halo Maniez, aku kangen mata cemerlangmu,” rayu teman
kuliahnya.
“Maniez kasih liat dong pada kita mata judesmu yang
lembut itu,” ujar yang lain yang langsung disambar koor ejekan beramai-ramai.
“Maniez, tak perlu kau tanggung sendiri dukamu, aku Alysa
bersedia menjadi keranjang sampahmu,” bujuk tetangga di kamar atas.
“Apa kau tak bisa menutup matamu yang menusuk-nusuk itu
wahai perempuan,” caci pemabuk yang mangkal di jalan.
Semua merasa semakin mengenal Maniez. Gadis cadar berusia
23 tahun yang bernama lengkap Maniez Choy, seakan buku terbuka bagi mereka.
Namun, bagi setiap orang baik susunan huruf maupun cerita yang terpapar
berbeda. Semua merasa bagiannyalah yang benar.
Berbagai kemudahan yang telah didapatkan Maniez ketika
berbelanja maupun ketika menggunakan fasilitas umum lainnya. Seorang ibu yang
hamil memerlukan untuk menemui Maniez dan meminta Maniez mengusap-usap
perutnya. Kesediaan Maniez dan mata yang bagi wanita itu seikhlas telaga,
membuatnya berlinang tak putus-putusnya.
Senyum sinis, ejekan, iri dengki tak jarang mampir pada
Maniez. Satu senja ketika Maniez berteduh beramai-ramai di emper sebuah tokoh
dari hujan yang mulai membadai, seorang seniman jalanan mendekatinya. Ia
menyerahkan hasil coret-coretnya pada Maniez. Maniez mendelik gusar, karena
yang terpampang adalah mata yang harus diakuinya adalah miliknya sementara
wajahnya dilukis pencang-pencong.
“Itulah wajahmu yang sesungguhnya, hai perempuan!” ejek
sang seniman yang sebenarnya penasaran dengan wajah Maniez yang tertutup cadar
itu, lantas masuk dalam hujan dengan sepatu rodanya.
Maniez mendidih. Kertas ditangannya telah tercabik-cabik.
Ia menyusul masuk ke hujan. Bukan untuk memaki sang seniman. Ia malu berada
ditengah banyak orang sementara ia merasa telanjang. Hari itu ia merasa
betul-betul payah. Maniez merasa tak tahan lagi. Selama ini setelah pameran
yang terkutuk itu ia tak pernah utuh lagi. Segala perlakuan yang diterimanya
selalu karena orang memandang matanya.
Dosennya yang masih muda dan tampan itu memberinya nilai
bagus disamping karena kecemerlangan ujiannya juga karena menurut kabar ia
terbius mata Maniez yang baginya teduh dan sunyi bagai lembah edelweiss. Nyonya
Harper, selalu cemberut karena mata Maniez yang membuat suaminya banyak
tingkah. Semua karena mata.
Mata yang berkhianat, keluh Maniez. Tapi ini mataku
sendiri, keluhnya sekali lagi. Maniez hening.
“Ya Tuhan haruskah aku tutupi juga mataku ini?” Apakah
aku belum memenuhi kriteria menutup aurat sesuai dengan syariah? Haruskah aku
menyendiri dan menjauh dari keramaian orang?
Bagaimana dengan cita-citaku Tuhan? Tapi biarlah, aku rela asal bersama
dengan ridhoMu, aku yakin semuanya akan tercapai dengan kehendakMu.” Sore itu
Maniez memutuskan untuk tidak meninggalkan kamarnya lagi. Dan ia merasa sedikit
nyaman.
Akhirnya Maniez mulai terbiasa meninggalkan aktivitasnya
sehari-hari. Ia mulai menikmati kesenangan di dalam kamar. Kebutuhannya dipesannya
melalui telpon. Satu sore Nyonya fergusson datang.
“Tak ada sedikitpun niatku untuk menyusahkan hatimu,
Maniezku. Tapi tak baik kau mengurung diri terus menerus seperti ini. Bukan
salah warga kota pula bila mereka berlaku seperti itu. Maha besar Tuhan yang
menciptakan matamu, Maniez,” kata Nyonya Fergusson.
“Aku hanya ingin kau lebih dikenal dan dilirik publik
sebagai mar’atus shalehah yang mampu menjadi uswah bagi
perempuan-perempuan yang lain. Maniezku, kau sangat dibutuhkan sebagai
penyelamat bangsa. Tetaplah meneriakkan suara rakyat, tetaplah berkhotbah untuk
saudara-saudaramu dan tetaplah menegakkan keadilan.”
“Kau bisa lihat sendiri, Maniez. Walau tidak semua
menyenangkan dirimu, tidakkah kau sadari kau membuat hidup kota ini.
Orang-orang yang asing satu sama lain sekarang mempunyai hal yang sama untuk
diperbincangkan. Itu karena penampilan dan matamu yang dulunya sangat asing
bagi mereka akhirnya sekarang mulai dilirik.”
“Mudah-mudahan penampilanmu bisa menarik desiner-desiner
kondang untuk membumikan model pakaianmu.”
“Tapi itu artinya saya harus berbagi kisah, dan terutama
kepahitan yang hendak saya dekap sendiri, Nyonya,” kata Maniez.
“Maniezku, jangan khawatir,
kalau boleh ada satu permintaan ibu yang merupakan niat utama ibu, mengapa ibu
melukis matamu.”
“Sebenarnya, pertama kali ibu
melihatmu, ibu ingin sekali kau menjadi bagian dari hidup kami. Walau kau sangat asing bagiku, tetapi aku
yakin dibalik penampilanmu itu ada hikmah yang tersembunyi yang bisa mengantarkan
kami kedepan pintu syurga.“
“Anakku . . ., sudikah kiranya
kau menjadi bagian dari hidupku?”
“Aku punya seorang anak lelaki
yang sifatnya tak beda jauh darimu, dia adalah aktivis pergerakan Islam. Walau
awalnya dia seorang seniman, tapi saya tetap yakin kalau kalian mampu bersama-sama
membahas tentang problem-problem yang kalian hadapi, mencari solusi terbaik dan
seiring sejalan dalam mewujudkan masyarakat mardhotillah.”
Mendengar perkataan Nyonya Fergusson, Maniz spontan kaget
dan tak mampu menjawab apa-apa. Setelah mengatur nafasnya dengan baik, Maniz
hanya dapat berkata,
“Ibu . . ., jodoh itu di tangan Tuhan, kalau Tuhan Ridho
mengapa aku tidak?”
Sepeninggalan Nyonya Fergusson, Maniz membisu menatap
letik baru di perapian. Hmm, pendamping hidup? Masa lalu yang menyesakkan, serta
mata yang berkisah terlalu banyak. Maniez merasa dungu.
Tiba-tiba ketika langit menjadi terang karena lintasan
kilatan kilat Maniz tersenyum.
“Bila menikah bisa menjauhkan diriku dan orang lain dari
fitnah serta mampu mengantarku untuk mencapai cita-citaku, aku akan membenarkan
dan menerima permintaan Nyonya Fergusson”. Bisik Maniez.
Beberapa waktu kemudian Maniez melangsungkan Walimatul
‘Urusy dengan putra Nyonya Fergusson. Walau Maniez mengaku tak pernah melihat
calon pendampingnya tersebut. Sungguh Maniez kaget ketika matanya tertuju pada
mempelai laki-laki,
“Astagfirullahal adzim, ternyata dia adalah seniman
jalanan yang pernah mengejekku, ya Tuhan
akankah dia seperti Muhammad-Muhammad cetakan baru yang kudambakan selama ini
yang mampu mendukung impian dan cita-citaku? Wallahu ‘alam bissawab.”
Ketika walimahan telah usai, dengan membawa kotak kaca
yang tertutup beludru merah, Maniz melangkah bagaikan seorang model yang
berjalan diatas catwalk menghampiri Nyonya Fergusson dan putranya.
Tiba-tiba keduanya terpukau oleh langkah yang menuju sasaran.
Langkah Maniez telah genap. Dengan sangat anggun wajah
yang terbungkus cadar itu menebar pandangan. Keduanya berdebar, ada apakah
dibalik beludru merah itu? Jari-jari
mungil putih itu mulai menarik beludru.
Langit tiba-tiba terang oleh lintasan kilat. Hujan musim
panas menyergap dengan riang. Sementara lidah Nyonya Fergusson dan putranya
melekat pada langit-langit dengan rasa kagum menyaksikan ciptaan Tuhan yang
begitu indah di depan mereka. Di balik kotak kaca terletak dua biji mata Maniez
yang masih segar darahnya. Alasnya yang putih semakin membuat mata itu
mencekam. Lantas dengan tenang Maniez pun membuka cadarnya. Mata atau lebih
tepat rongga matanya tampak memerah dibalik kain putih penutupnya. Senyum Maniz
mengembang. Ikhlas seikhlas sinar matanya.
Dengan penuh kekaguman dan seakan tidak percaya, putra
Nyonya Fergusson dalam hal ini suami Maniz berkata,
“Masya Allah cantiknya, Maniez Choyy . . . Inikah
bidadari yang dikirimkan Tuhan untukku?” Dia tiba-tiba sujud syukur dan
mengucapkan berkali-kali pujian pada Tuhan. Maniez sendiri akhirnya mengetahui
bahwa ternyata suaminya adalah seorang ketua pergerakan Islam yang Insya Allah
bisa menjadi partnernya dalam berjihad.
Amin.
*Untuk sahabatku pemilik mata itu. Kecuali aksi heroiknya,
semua ini adalah kisah tentangmu.
Nur Rosida, SP., MP.,
PNS pada Badan Litbang Kementerian Pertanian, dan Peneliti pada Indonesia
Cereals Research Institute
0 komentar:
Posting Komentar