TAKALAR, TURUNGKA.COM - Delapan puluh lima tahun yang lalu, sekumpulan pemuda Indonesia
mengeluarkan sebuah ikrar yang kita kenal sebagai Soempah Pemoeda. Dokumen
tersebut merupakan intisari dari semangat pemuda pada waktu itu, di dalamnya
termaktub muara cinta para pemuda.
Pemuda mengungkapkan kecintaannya pada satunya Nusa, Bangsa,
dan Bahasa Indonesia. Mereka tak berleha-leha, mereka menyingsingkan lengan
baju dan menceburkan diri dalam lumpur perjuangan bangsanya, Indonesia.
Hari ini, 28 Oktober 2013, kita mengenang kembali ikrar
tersebut, mengenang dengan penuh rindu pada para pemuda yang mengucapkan ikrar
itu dengan lantang, rindu dengan semangat yang melingkupi sumpah itu.
Momentum ini sepatutnya menjadi agang refleksi bagi kaum muda
akan peran sejarahnya yang kian tak menimbulkan bekas. Bila pemuda dulu
mendendangkan muara cintanya pada satunya Nusa, Bangsa, dan Bahasa Indonesia,
maka pemuda hari ini membuktikan cintanya dengan dendangan, “Cinta satu
malam... oh Indahnya..., cinta satu malam.... buatku melayang”.
Pemuda hari ini seperti kehilangan daya juang dan kekuatan
pendobrak kedzaliman yang mapan, mereka terbuai dan terjebak pada citra-citra
semu yang berbalut kedangkalan makna. Mereka hanya bisa berbangga sebagai
pemuda, tapi tak mampu bertindak seperti pemuda.
Pramoedya Ananta Toer, pernah menyinggung para pemuda
pengecut, Pram berkata bahwa “Pemuda tanpa keberanian adalah ternak!” Tapi
apakah itu cukup? Tidak! Pemuda hari ini sudah demikian ‘lembek’, dan berjiwa
kerupuk.
Bila Soekarno dipercaya pernah mengatakan, “Berikan kepadaku
sepuluh orang pemuda, maka akan aku rubah dunia”, maka hari ini, sepuluh pemuda
tak lagi punya kekuatan untuk merubah dunia, mereka hanya bisa membentuk boy
band dengan bermodal tampang.
Maka camkanlah, selama kaum muda masih gagap merumuskan gramatika politiknya sendiri, maka selama itu pula, kaum muda hanja menjadi pelengkap sejarah. Sebab mereka hanya akan bekerja dan bergerak bukan atas ide dan pemikirannya sendiri, melainkan hanya sekedar menjadi jongos kaum tua.
Maka camkanlah, selama kaum muda masih gagap merumuskan gramatika politiknya sendiri, maka selama itu pula, kaum muda hanja menjadi pelengkap sejarah. Sebab mereka hanya akan bekerja dan bergerak bukan atas ide dan pemikirannya sendiri, melainkan hanya sekedar menjadi jongos kaum tua.
Selama kaum muda belum mampu membangun gerakan yang mandiri
secara ekonomi, jangan pernah berharap kaum muda bisa membangun gerakan politik
dan kebudayaan yang mandiri, dan itu berarti, gerakan kaum muda akan selamanya
jadi budak kaum pemodal.
Wahai kaum muda, tak ada salahnya kita merenung-renungkan
seruan Semaoen, seseorang yang sejak berusia belia sudah memimpin bangsanya
untuk berubah,
Kaoem moeda bangkitlah, berpeloehlah.....Toendjoekkan kita moeda dan pahlawan....Mereka toea dan pengkhianat....!
Selamat memperingati momentum sumpah pemuda, mari kita
mengukur diri, apakah muara cinta kita masih sama, masih pada satunya Nusa, Bangsa, dan Bahasa Indonesia. Ataukah kita menjadi pecundang dan
hanya menjadi pecinta satu malam.
0 komentar:
Posting Komentar