TAKALAR, TURUNGKA.COM - "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka
yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan
kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan
yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat)
yang mulia." (Q.S. Al Anfaal: 2-4)
Dengan keterbatasan yang saya miliki, saya mencoba untuk
merenungi ayat di atas sebagai berikut. Allah swt sebagai Tuhan atau The
Supreme God yang berkuasa atas segala sesuatu, baik langit, bumi beserta
kerajaan semesta (makrokoskos) maupun diri manusia (mikrokosmos) telah
menentukan kriteria manusia beriman secara jelas di dalam wahyu suci yang
disampaikan kepada manusia lewat lisan utusanNya, Nabi Muhammad saw. Kriteria
manusia beriman sebagaimana ayat di atas adalah manusia yang memiliki kualitas
hati tertentu yang mampu 'bergetar' tatkala disebut nama Allah. Yang bergetar
adalah hati, sesuatu yang sangat subjektif dirasakan sebagai pengalaman pribadi
dan hanya masing-masing diri manusia yang bisa mengetahui bagaimana rasa
getaran tersebut.
Hati sebagai misbah yang menampung cahaya sehingga cahaya
tersebut, sebagaimana mangkuk terbalik dimana di bawah mangkuk tersebut
dinyalakan lampu, maka misbah akan menampung cahaya ke seluruh dindingnya.
Cahaya yang berasal dari Pemberi Cahaya, Nuurun alaa Nuur. Cahaya ini
berpotensi ada dan menyala membesar pada setiap misbah hati manusia.
Sebaliknya, cahaya ini bisa menjadi redup, bahkan padam. Cahaya dan gelap
adalah hasil dari posisi. Bila posisi mendekat ke Cahaya, maka makin teranglah
misbah. Sebaliknya bila posisi makin menjauh bahkan mencampakkan misbah dari
Cahaya, maka meredup atau gelap. Mendekat atau menjauh adalah gerak, al
harakaat, moving. Sedangkan Cahaya adalah karunia, manifestasi tajalli dari
esensi Tuhan Yang Kudus. Cahaya hakikatnya menyinari, melingkupi semua ruang
dan sudut-sudut misbah, Allah maha meliputi segalanya. Gelap adalah keadaan
tidak bercahaya. Tidak bercahaya bukan berarti tidak ada pencahayaan, tetapi
karena misbah tertutupi oleh kotoran sehingga kotoran tak mampu mencerap dan
memantulkan iluminasi cahaya yang terus menerus bersinar. Kotoran pada misbah
menjadi penghalang, hijaab. Kotoran adalah dosa manusia yang apabila tidak
dibersihkan akan semakin menumpuk dan menyebar menutupi ceruk-ceruk cahaya.
Ibarat misbah yang dipenuhi cahaya, hati manusia beriman
dipenuhi oleh cahaya iman yang kekuatannya hanya bisa dirasakan oleh orang
beriman itu sendiri. Rasa adalah pengalaman noumena. Lawan noumena adalah
fenomena. Noumena hanya bisa dirasakan sebagai pengalaman spiritual
intim,sebagai pengalaman kesaksian (musyahadah, mukasyafah) sedangklan fenomena
bisa dialami sebatas objek materil, ruang dan waktu.
Mengapa misbah sebagai simbolisasi hati manusia? sebab hanya
hati manusialah yang bisa menampung Cahaya suci Allah swt. Fakultas inteleksi
manusia sebagai makhluk ciptaan yang sempurna karena memiliki al-aql. Al-aql
adalah istilah dari alQur'an yang maknanya luas meliputi akal, indra dan
intuisi/hati. Manusia yang sempurna adalah manusia yang senantiasa bergerak
dari fitrah awalnya ketika dilahirkan suci menuju cita kesucian absolut yang
digambarkan lewat sifat-sifat Allah swt. Gerakan ini senantiasa harus
didukukung oleh pengoptimalisasian potensi al-Aql di atas. Apabila gerakannya
konsisten, maka akan menanjak terus ke arah yang diridhoi. Sebaliknya apabila
gerakannya tidak konsisten, maka ada dua kemungkinan, yaitu pertama pertobatan
dan kemudian bergerak menanjak lagi, terus dan terus, sedangkan kemungkinan
kedua ketika terjadi kejatuhan dan kejatuhan itu disadari namun tidak ada
reinventing gerak alias terlena dengan inkonsistensi, maka gerak seperti ini
turun, bahkan menukik jauh ke level eksistensi paling nadir (Q.S. an Nahl:
179).
Karena gerak adalah proses berpindah, maka gerakan menjadi
proses berpindah yang dinamis. Dinamisnya gerakan terlihat dari konsistensi
atau inkonsistensinya. Konsistensi berarti maju atau menanjak, sebaliknya
adalah mundur atau menurun. Gerakan konsisten kaum beriman menuju Allah swt
adalah aksioma eksistensial alias hukum paten bagi setiap manusia beriman untuk
meraih "beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta
rezki (ni'mat) yang mulia". Puncak prestasi tersebut oleh Allah swt
dianugerahi gelar "Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya".
Istilah sebenar-benarnya ekuivalen dengan real, nyata. Lawan dari
sebenar-benarnya adalah tidak sebenar-benarnya, atau dengan kata lain tidak
real, tidak nyata alias kabur dan tidak jelas. Kekaburan dan ketidakjelasan
dalam orientasi gerakan adalah pertanda inkonsistensi gerakan. Indikasinya
adalah dorongan hawa nafsu mendominasi sehingga potensi ilahiah redup oleh
potensi hewaniah, maka gerakan menukik ke bawah menjauhi sumber cahaya.
Hawa nafsu adalah kotoran hati, puncak manifestasinya adalah
kesepian hati, disebabkan kegersangan yang pangkalnya adalah hilangnya cahaya
cinta dalam hati. Cahaya cinta tak bisa memantul pada cermin hati yang dipenuhi
kotoran. Kotoran menghalangi kehidupan dan dari sini muncul kegersangan. Lahan
yang gersang disebabkan meluasnya kematian pada bentangan lahan, demikian pula
hati menjadi gersang dan kusam akibat tiada kehidupan dari cahaya penerang,
dari basuhan sungai kautsar, dari ruapan sejuk salsabila. Kegersangan membawa
kesepian. Kesepian bukan pertanda kekosongan semesta eksistensi dari Tuhan,
tapi kesepian adalah ketiadaan Kekasih di dalam ceruk hati yang telah gersang.
Kegersangan adalah arena efektif bagi eksperimen Setan merekrut pasukan
sebanyak-banyaknya.
Dengan demikian maka hanya orang-orang beriman yang
sebenar-benarnya sajalah yang mampu merasakan indahnya percintaan suci bersama
Kekasih Absolut, Allah yang Maha Indah.
Ceruk hatinya akan senantiasa diliputi cahaya, dibasuhi
kesejukan kautsar dan manisnya aliran salsabila. Hati mereka telah dekat,
didekatkan melalui mujahadah dan amal saleh mereka, diintimkan lewat keimanan
yang kokoh sekuat pohon sempurna, akarnya menghunjam kuat kedalam bumi dan
tajuknya tinggi menjulang ke langit. Hati yang murni telah kembali ke fitrah
awal dalam kepolosan penyerahan diri (Islam), ruang-ruang sakralnya akan
bergetar tatkala asma-asma Tuhan pemilik langit dan bumi tercerap dan
beresonansi di dalamnya.
Hati yang murni tempat bersyahaadah/musyahadah. Henry Bergson
menyebutnya intuisi,Immanuel
Kant menyebutnya rasio
praktis/moral, Ibnu Sina menyebutnya akal
mustafaadhdan Imam Al-Ghazali menyebutnya dhamiir . Ketika rasio dan indera mencermati
fakta-fakta empirik, maka lahirlah pengetahuan sains. Ketika rasio sendiri
menseriusi premis-premis logika, maka lahirlah pengetahuan filsafat. Namun
ketika intusi, alQalb tercerahkan lewat mujahadah, maka lahirlah musyahaadah mengungkap pengetahuan ma'rifah, syahaadah.Tiada ma'rifah/ syahaadah
tanpa pencerahan. Tiada pencerahan tanpa ketaatan pada Allah lewat syari'ah
(mujahadah).
Salah satu pondasi syari'ah sekaligus ibadah yang agung adalah
shalat, sehingga Allah swt menyebutkannya dalam ayat di atas sebagai kriteria
orang-orang beriman secara benar. Orang boleh saja bisa mengaku beriman, tetapi
kalau orang tersebut menolak mendirikan shalat atau bahkan menentang syariat
agung ini, maka sesuai kriteria ayat di atas, orang tersebut belum memenuhi
persyaratan. Shalat sebagai ibadah ritual (hablumminallaah) disandingkan dalam
ayat di atas dengan "...dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka." (hablumminanaas) sehingga tradisi
Islam atau tradisi kaum beriman adalah tradisi yang sempurna dalam arti
mencakup aspek ilahiah transendental sekaligus aspek kemanusiaan imanensial.
Transformasi ajaran agama dalam level kemanusiaan, khususnya
realisme sosial sekaligus sebagai pengukur keimanan, ditegaskan dua ciri dalam
Q.S. Al-Maa’uun: 1-7, pertama, ukuran pendustaan agama adalah ketika seseorang
menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, kedua,
ukuran kecelakaan bagi orang-orang yang shalat adalah ketika lalai, berbuat
riya (pamer, tidak beramal sosial atas motif keridhaan Allah swt) dan
keengganan menolong orang lain dengan barang berguna.
Ajaran Islam tidak melangit melainkan membumi dan menegaskan
emansipasi dan advokasi kemanusiaan. Bahasa “..menafkahkan sebagian dari
rezki ..." adalah bahasa universal dalam konteks distribusi kesejahteraan
secara adil bagi manusia dan kemanusiaan. Sehingga keimanan orang-orang beriman
adalah keimanan yang universal, hanya bergantung kepada Allah swt, Raja
Universal serta mentransformasikan keimanan tersebut dalam sejarah, dalam
peradaban manusia untuk diarahkan secara progresif revolusioner bagi keadilan,
kesejahteraan dan keilahian (Q.s. Ali Imran: 110).
Semoga kita tetap istiqomah sebagai petarung hebat melawan jiwa rendah (nafs al ammarah) menuju manusia beriman yang berhati suci (nafs al muthma’innah), aamiin ya Rabbal alamiin.
Semoga kita tetap istiqomah sebagai petarung hebat melawan jiwa rendah (nafs al ammarah) menuju manusia beriman yang berhati suci (nafs al muthma’innah), aamiin ya Rabbal alamiin.
Ruz’an Hasyimov Latuconsina, ST., Ketua Umum
Pimpinan Wilayah Pemuda Muslimin Indonesia Provinsi Maluku
0 komentar:
Posting Komentar