TAKALAR, TURUNGKA.COM - Ada warta sejuk
yang berembus: di tengah kepungan estetika realitas-realitas semu, dunia
simulakrum, dan riuh konsumerisme kehidupan kota, pada 25-26 September 2013, di
Makassar berlangsung International Interfaith Youth Assembly, sebuah forum
internasional yang diinisiasi anak-anak muda sejagad dan memilih posisi sebagai
agen perdamaian lintas iman.
Hal tersebut patut disambut baik semua pihak, sebab kesadaran dan
ide mendialogkan iman dari basis teologi yang jamak adalah pilihan penting,
subtil dan tercerahkan. Apa lagi satu kenyataan tak terbantahkan jika dewasa
ini persoalan penodaan agama, ujaran kebencian dan kekerasan atas dasar agama
justru telah menjadi fenomena global. Masalah ini hampir mengemuka di semua
negara di dunia.
Karena itu pada 2012, tak kurang dari PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 66/167 tentang perang terhadap intoleransi, negatif stereotip, stigmatisasi, diksriminasi, hasutan yang mengakibatkan kekerasan, dan kekerasan terhadap orang atas dasar agama/kepercayaan.
Di dalam resolusi tersebut, semua negara
mengecam praktik-praktik intoleransi atas dasar agama termasuk ujaran kebencian
yang mengakibatkan kekerasan. Bahkan resolusi tersebut menyerukan agar semua
negara mengkriminalkan pelaku ujaran kebencian yang mengakibatkan kekerasan
atas dasar agama.
Dalam perspektif philosophia Perennis,
agama sejatinya memiliki dua “wajah” yang musti dijaga keseimbangannya:
eksoterik yang bersifat historis-sosiologis-empiris dan esoterik yang menekankan
sisi transendental-mistis. Jika yang pertama menyentuh aspek ritual, moral, dan
intelektual sebuah agama, yang terakhir justru menekankan aspek
substansial-spiritual.
Doktrin tentang keseimbangan atau
“equilibrium” sebab itu, hampir menjadi inti pesan dari setiap agama dan
tradisi otentik.
Dalam tradisi Islam misalnya, pesan moral
Al-Quran (“al-Mizan”) sangat menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara
yang “doktrinal” dan “historis” dalam kehidupan. Taoisme mengenalkan doktrin
“Yin-Yang” yang juga mengandaikan pentingnya menjaga keseimbangan jagad
kehidupan melalui manifestasi iman.
Hal ini menunjukkan, beragama dengan cara
memilih satu titik ekstrem dan mengabaikan titik lainnya, tidak saja akan
mengguyahkan keseimbangan, tetapi bahkan menjadi gelombang pemukulan balik
terhadap eksistensi agama itu sendiri. Di sini, eksoterisme dan esoterisme
agama ibarat dua sisi koin yang bersebelahan: ia tak dapat dipisahkan tapi
jelas dapat dibedakan.
Demikianlah, ekstremitas agama, apapun bentuk dan ekspresinya: terorisme, kekerasan atas nama agama, insuniasi, intoleransi, diskriminasi, intimidasi, koersi, perusakan properti dan penutupan paksa rumah ibadah dan seterusnya dengan sendirinya tertolak dalam bangunan substansi setiap agama. Sebab, inti agama identik dan selalu sejalan dengan ide kemanusiaan.
Di sinilah nafas, relevansi dan
siginifikansi dari perhelatan International Interfaith Youth Assembly itu
terasa kuat. Ada pesan arif yang sublim mengalir pada forum itu: di dalam
jantung setiap agama dan tradisi otentik, terdapat pesan inti kebenaran yang
sama.
Dr. Mohammad Sabri AR, Direktur Character
Buildg Program (CBP) Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, Sekretaris
Majelis Pimpinan Daerah KAHMI Sulawesi Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar