TAKALAR, TURUNGKA.COM - Hamil muda kata ibu saya
adalah hal kedua yang paling tidak nyaman di samping proses kelahiran. Menurutnya, hamil muda membuka perspektif unik cenderung aneh
terhadap sesuatu. Sewaktu normal misalnya, sesuatu itu adalah hal yang dia
sangat suka setelah hamil muda tiba-tiba menjadi hal yang
paling ia benci atau sebaliknya, biasa kita sebut tahap ‘ngidam’.
Teringat beberapa cerita
dari guru saya, ustadz Kasman Daeng Matutu, beliau punya
teman yang hamil muda, anehnya, suami yang selama ini ia
sayang dan ia cintai berubah 180o. Tiba-tiba saja ia benci bahkan sekedar menatap dan mencium bau suaminya
sekalipun. Aneh kan?
Dalam perjalanan
selanjutnya, saya teringat kata muda yang disandingkan dengan kata lain, ‘pemilih muda’. Di media
manapun isu pemilih muda ini selalu diasosiasikan dengan isu golput, isu
pemilih yang cuek, pemilih yang skeptis, isu pemilih yang ‘ngidam’ (punya perspektif unik terhadap
pemilu), sehingga iklan untuk mengajak mereka untuk turut andil
dalam pemilu pun merebak.
Mengingat lebih dari 20
persen calon pemilih pada pemilu 2014 nanti yang berusia antara 17 - 29 tahun, mereka adalah pemilih
muda, cukup untuk sebuah partai yang
berhak mengusung capresnya sendiri.
Ini juga yang banyak
dimanfaatkan parpol, caleg dan capres untuk menggaet pemilih muda ini. Tagline “Pilih Yang Muda” acap kali terpampang bersama foto caleg yang juga
tampak muda, dengan harapan semoga pemuda menyadari bahwa dia adalah temannya
sama-sama pemuda dan akan mengaspirasikan semangat muda.
Di samping itu, KPU tak kalah gencarnya
mengkampanyekan hal yang sama agar pemilih muda tertarik terlibat dalam pesta
demokrasi 2014 nanti, nampaknya kita fobia pada pemilu 2009 lalu di mana partisipan pemilu hanya berkisar kurang dari 70%, sebagian besar pemilih
yang golput adalah pemilih muda.
Pemilih muda dan hamil
muda, dua hal yang mengalami fase ‘ngidam’, membutuhkan pengertian
lebih, jika hamil muda butuh pengertian dan kesabaran ekstra dari seorang suami
dan orang dekatnya. Maka seharusnya kita pun bersikap sama terhadap pemilih
muda.
Butuh sesuatu yang juga ‘muda’ agar pemilih muda tidak
merasa teralineasi dengan proses pemilu ini, dan menganggap proses pemilu ini
adalah bagian dari dirinya serta dengan sendirinya merasa perlu untuk terlibat.
Pemilu yang bersifat
transaksional, membuat pemilih muda tidak merasa terlalu berkepentingan, lain
halnya dengan pengusaha misalnya, mereka tidak sungkan terlibat bahkan
membiayai caleg atau partai tertentu karena ada
kepentingan pragmatis di balik dukungannya.
Dengan terpilihnya calon
yang ia dukung, otomatis proyek pemerintah tentunya akan lebih mudah diperoleh oleh pengusaha pendukungnya.
Pemilu transaksional tadi, membuat pemilih muda
hanya menjadi objek dari sebuah sistem demokrasi, bukan subjek yang
berkepentingan, terlibat dalam sebuah perubahan yang besar, perubahan dengan
bea yang mahal tentunya.
Pemilih muda yang ‘ngidam’ menjadi subjek
demokrasi, subjek pemilu, dan subjek perubahan
seharusnya menjadi fokus utama pemerintah dan parpol untuk melibatkan mereka
sepenuhnya, dengan kesadaran dan idealisme yang dimiliki
pemuda. Tan Malaka pernah berkata, “Satu-satunya harta paling
berharga yang dimiliki pemuda adalah idealismenya.”
Tugas pemerintah dan
parpol sekarang adalah memperjelas kelamin ideologi
partainya, apa yang ditawarkan dan bagaimana ia akan bersikap, apa landasannya,
dan ke mana negeri ini akan dilabuhkan, untuk meyakinkan
pemilih muda dan memilih sesui idealismenya.
Sehingga pemuda yang
tidak memilih pun, bukan karena cuek, bukan
karena mereka skeptis, bukan karena siapa-siapa, tetapi karena
idealisme yang mereka miliki dan mereka perjuangkan. Dengan begitu, kualitas pemilu pun akan
meningkat, kualitas yang bukan berasal dari angka, tetapi dari kesadaran
pemilihnya. (kdm)
0 komentar:
Posting Komentar