TAKALAR, TURUNGKA.COM - Semiotika adalah ilmu yang mengkaji semesta tanda atau kode dalam
kehidupan manusia. Semua yang ada dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda,
yakni sesuatu yang musti diberi makna.
Pentolan semiotika Ferdinand de
Saussure dalam magnum opusnya, Course in General Linguistics (1990) mendaku,
tanda lebih merupakan pertemuan dikotomik antara “bentuk” yang tercitra dalam
kognisi seseorang dan “makna” yang dipahami manusia pemakai tanda.
De Saussure menggunakan istilah
signifiant (penanda) untuk bentuk dan signifié (petanda) untuk segi maknanya.
Keduanya ibarat selembar kertas yang memiliki dua sisi: berbeda tapi tak bisa
dipisahkan.
Masih dalam pengertian de
Saussure, hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tapi komunal
yang didasari oleh konvensi dan kognisi sosial. Karena manusia memiliki
kemampuan memberi makna pada berbagai gejala sosial budaya dan alamiah, maka
tanda adalah bagian dari kebudayaan.
Belakangan, gejala pejoratif kian meluber dalam kehidupan kita. Penggunaan tanda tidak lagi setia pada kaidah semiotika. Lihatlah, kasus korupsi yang menjerat mantan anggota DPR RI dan Putri Indonesia Anggelina Sondakh nyaris tak terdeteksi ketika berlindung di balik “appel Malang” dan “appel Washington” dalam komunikasinya dengan seseorang via Blackberry.
Belakangan, gejala pejoratif kian meluber dalam kehidupan kita. Penggunaan tanda tidak lagi setia pada kaidah semiotika. Lihatlah, kasus korupsi yang menjerat mantan anggota DPR RI dan Putri Indonesia Anggelina Sondakh nyaris tak terdeteksi ketika berlindung di balik “appel Malang” dan “appel Washington” dalam komunikasinya dengan seseorang via Blackberry.
Di sini appel tidak mengandaikan
“buah terlarang” misalnya, seperti kisah nubuwat kuno yang mengalir dalam anak
sungai literasi Kitab Suci tapi bermakna “rupiah” dan “dollar” yang mengguyur
deras ke dalam rekening politisi Partai Demokrat anggun ini.
Hal serupa juga terjadi pada
kasus korupsi anti logika proyek pencetakan Al-Quran di Kementerian Agama yang
menimpa politisi Partai Golkar Zulkarnain Djabbar. Istilah “santri” dan “pesantren”
yang sejauh ini merujuk pada pendidikan Islam tradisional di Indonesia,
mengalami gradasi makna yang sama sekali jauh dari akarnya.
Dalam kasus ini santri tidak lagi
dimaknai sebagai siswa atau murid pengkaji khazanah intelektual Islam klasik dengan
tradisi “kitab kuning” yang demikian kental, tapi sebagai “kurir” yang membawa
dana haram milyaran rupiah ke kantong Zulkarnain. Sementara pesantren, yang
dalam sejarah panjang nusantara tak sedikit melahirkan ulama dan cendekiawan
Muslim berpengaruh, lebih menunjuk pada “Kantor Kementerian Agama RI.”
Ketika akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi resmi menahan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Timur belum lama ini, tampak ada “kode” yang dilontarkan aktivis KAHMI itu.
Ketika akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi resmi menahan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Timur belum lama ini, tampak ada “kode” yang dilontarkan aktivis KAHMI itu.
Sebelum masuk ke mobil tahanan
Anas sempat mengucapkan, “Di atas segalanya, saya berterima kasih yang besar
kepada pak SBY. Mudah-mudahan peristiwa ini punya arti, punya makna, dan jadi
hadiah Tahun Baru 2014”.
Tak kurang dari penggiat semiotik
Yasraf Amir Piliang menilai, pernyataan Anas adalah sebuah tanda yang dapat
dimaknai sebagai kode kontrakdiktif atau makna terbalik. “Artinya, saya (Anas)
ditahan. Penahanan ini saya berikan sebagai hadiah buat Anda karena ada
kemungkinan juga Anda atau orang dekat Anda bisa ditahan,” ujar Yasraf.
Peneliti Indonesia Corruption
Watch, Tama S Langkun mendaku, percuma jika Anas hanya mengungkapkan kode-kode
tak jelas seperti menyampaikan terima kasih kepada SBY, Ketua KPK Abraham
Samad, penyidik dan penyelidik KPK.
Hukum menuntut pengungkapan kasus
korupsi dengan fakta dan alat buktinya, bukan kode-kode yang tak jelas. “Anas
justru berpeluang menjadi justice collaborator yang tidak sekadar membantu
penegakan hukum, tapi fakta politik sesungguhnya juga bisa terbongkar,
khususnya perseteruannya dengan keluarga Cikeas,” ujarnya.
Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh menilai, yang disampaikan Anas itu merupakan sindiran dalam tradisi budaya Jawa. “Bagi yang tidak datang dari kultur Jawa, pasti akan menilai yang disampaikan Anas itu kurang ajar. Menghadapi situasi seperti itu, pasti dia tidak nyaman, pasti ingin melakukan perlawanan. Ini cara dia melawan,” ujar Surya.
Jika gejala produksi tanda dan kode dalam kehidupan kita berlangsung liar dan “semau gue” seperti terlihat dalam tiga kasus korupsi di atas, bukan tidak mungkin dunia tanda—baik dalam bentuk Icon, index, maupun symbol—seperti dikenalkan Charles S. Peirce dalam The Philosophy of Pierce: Selected Writings (1940) akan mengalami ketergerusan makna yang sangat hebat. Ketika dunia tanda, lambang, atau kode tidak lagi merupakan “cetak suara mental” (image acoustique) dalam kognisi kolektif masyarakat, maka makna (meaning) akan terancam sirna dalam kehidupan kita.
Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh menilai, yang disampaikan Anas itu merupakan sindiran dalam tradisi budaya Jawa. “Bagi yang tidak datang dari kultur Jawa, pasti akan menilai yang disampaikan Anas itu kurang ajar. Menghadapi situasi seperti itu, pasti dia tidak nyaman, pasti ingin melakukan perlawanan. Ini cara dia melawan,” ujar Surya.
Jika gejala produksi tanda dan kode dalam kehidupan kita berlangsung liar dan “semau gue” seperti terlihat dalam tiga kasus korupsi di atas, bukan tidak mungkin dunia tanda—baik dalam bentuk Icon, index, maupun symbol—seperti dikenalkan Charles S. Peirce dalam The Philosophy of Pierce: Selected Writings (1940) akan mengalami ketergerusan makna yang sangat hebat. Ketika dunia tanda, lambang, atau kode tidak lagi merupakan “cetak suara mental” (image acoustique) dalam kognisi kolektif masyarakat, maka makna (meaning) akan terancam sirna dalam kehidupan kita.
Akibatnya, akan berlangsung
“penjungkirbalikan” jika bukannya pemusnahan makna yang sejauh ini justru
berlindung di balik selubung tanda: antara sakralitas-profanitas,
etis-tak-etis, baik-buruk, pantas-tak pantas, yang Ilahi-yang insani,
indah-kusam, harmony-chaos, dan seterusnya.
Inilah yang disebut
Barthes—pelanjut setia de Saussure—sebagai “kematian tanda”, kehancuran makna,
dan karena itu pula ancaman serius bagi kematian kebudayaan manusia.
Dr. Mohammad Sabri AR, Direktur Character Building Program (CBP) Universitas Islam
Negeri (UIN) Makassar, Sekretaris Majelis Pimpinan Daerah KAHMI Sulawesi
Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar