Cintai
aku
Dengan segala keganasan Tartar
Dengan segala keganasan Tartar
Dengan
segala kehangatan savana
Dengan
segala derasnya hujan
Jangan
sisakan dan jangan ditahan
Dan
jangan beradab selamanya
TAKALAR, TURUNGKA.COM -
Aku bertahan. Sendiri aku dalam keheningan. Di tanah yang merah dan lembab
dengan bunga kamboja memutih di atasnya, kugetarkan do’a-do’aku. Ya...,
sahabatku berdiam di dalam gundukan tanah itu, tempat istrahat panjangannya,
seperti cerita tentangnya yang tak kunjung usai. Satu menit, lima menit, hingga
tiga puluh menit tak terasa aku dalam kesendirian. Do’a, air mata, dan kenangan
silih berganti menguasai dimensiku.
Tak ada lagi lalu lalang orang ataupun
sudi getar ilalang di hadapanku. Aku memilih teraleniasi di antara isyarat alam
yang akan menenggelamkan sore dalam pekat malam. Biarkan saja maghrib yang
datang memisahkan lekatku dengan pembaringan panjangnya.
“Perlu aku menemanimu?” sayup-sayup aku
mendengar suara perempuan dari arah belakangku. Kupalingkan wajahku seketika
dan kulihat wanita dengan wajah yang tertutup kacamata gelap, dengan kerudung
hitam memagari rupanya. Aku tahu, dibalik kacamata hitam itu, kedua bola mata
indahnya memandang lurus pusara basah itu.
“Sudah selayaknya kau menemaniku.
Mungkin kamu masih ingat bahwa sahabat kita inilah yang menyatukan kita dulu.
Jasanya telah mengukir sejarah dalam hidupku yang indah awalnya, dan
akhirnya..., ah....,entahlah. Aku mengenalmu, kemudian kita merangkai cerita,
dan kemudian kita mengakhirinya pun dia yang terlibat erat. Sungguh, patut
bagiku mengenangnya!” balasku dengan nada getir dan kemudian aku berdiri
menyambut kedatangannya.
“Kalau bukan karena dia, kita tak akan
bertemu” katanya.
Aku mengangguk. Ia masih seperti yang
dulu saat terakhir aku melihatnya, 11 tahun lalu di rumah sahabatku yang kini
berbaring di haribaan Tuhan. Berkata tegas dan teratur. Aku tahu, ia lebih
sedih dariku.
Ditaburkannya sekantong bunga yang
beraneka rupa dan warna di atas pusara itu. Kemudian beberapa menit kami larut
dalam keheningan, masing-masing berbicara dengan batin tentang sebuah cerita,
potongan masa lalu yang tak pernah aku coba menguburnya.
“Reuni yang aneh” kataku memecah
kesunyian.
Ia memandangku sejenak saja, setelahnya
kembali memandangi pusara dengan amat dalam. Ada banyak hal yang ingin aku
ungkapkan ataupun menanyakan sesuatu tentangnya. Aku diam-diam pandangi raganya
yang berjongkok di sampingku, sama sekali tak ada berubah pada dirinya. Sungguh
aku benci kondisi ini, saat aku terdiam dalam kekaguman. Seperti dulu saat baru
mengenalnya, kagum hanya bergumul dengan sesal dalam dada, tanpa bisa kuluapkan
dengan sebaris kata puji. Aku tak suka basa-basi.
“Kapan kamu balik ke Makassar? Saya dengar kamu sudah jadi dosen muda berprestasi di sana” tanyanya padaku tanpa mengubah arah pandangannya, pusara itu masih lebih utama dibanding aku.
“Mungkin lusa, saya mau bermalam
semalam di rumah mendiang dan semalam di rumah orang tua. Itupun baru sebatas
rencana.” Jelasku dan mencoba lari dari keterangan terakhir tentangku.
“Kenapa tak tinggal seminggu di sini, bukankah
sekarang masa liburan? Banyak orang yang merindukanmu disini” kali ini aku
mendengar nada suaranya berubah, tapi pandangannya masih tak jua berpaling ke
arahku.
“Entahlah..., aku tak tahu siapa yang merindukanku, yang bisa kupastikan hanya orang tuaku dan orang terdekatku. Itupun mereka sering aku temui atau mereka yang temui aku. Tak seberapa menurutku, apalagi aku sudah lama meninggalkan kampung ini.” Tegasku padanya. Aku berkata jujur padanya, 11 tahun aku meninggalkan kampungku.
Kembali diam menyeruak di antara kami.
Merah senja merona, semerah ingatanku sebelas tahun lalu. Aku dan dia terpisah
setelah merangkai kisah setahun lebih. Momentum berpisah itu tak bisa aku kubur
dalam geliat waktuku, pertama kali aku jatuh cinta, cinta dalam terminologi
Yunani disebut cinta eros atau amos, cinta pada lawan jenis, dan itu
tentangnya, orang yang di sampingku kini. Dan kemudian kita berpisah karena
fantasi kita berbeda.
Hasratku ingin profesional di dunia
pendidikan berkontradiksi dengan ambisinya menjadi perawat atau bidan.
Akhirnya, langkah kami berbedah jalan dan arah. Tapi jujur aku akui, rindu itu
masih ada untuknya. Menurut kabar yang telah aku buktikan sendiri kebenarannya,
dia telah jadi PNS di RS di kabupatenku. Aku dan dia telah benar di jalurnya
masing-masing, tidak sefrekueinsi.
“Kenapa kamu belum menikah? Bukankah
dosen cerdas nan gagah sepertimu mudah mendapatkan wanita yang sesuai dengan
kategori yang kau inginkan?” di akhir kalimatnya dia memandangku, dan untuk
pertama kalinya setelah 11 tahun aku menikmati kembali senyum itu, senyum yang
memunahkan logikaku, meruntuhkan nalarku, mengendapkan sum-sumku, bahkan mampu
meluruhkan nafasku. Sungguh ....
“Hahaha....” aku tertawa kecil. “Kamu
juga? Kenapa belum menikah juga? Saya pernah dengar dari kakakku bahwa sudah
banyak lelaki dengan berbagai strata dan status meminangmu tak jua kau terima.
Jangan-jangan kamu menanti aku?” selorohku padanya. Kucoba balas senyumnya
dengan seihlas dan semanis mungkin.
Ia memalingkan muka, kembali pusara
lembab itu menjadi tuju pandangannya.
Tapi sebelum mengalihkan pandangan, merah pipinya bak merah delima sempat
sekilas aku pandang. Entah apa sebab, tak perlu aku cari tahu.
“Kalau benar aku menantimu, itu bukan
kesalahan kan?” bergetar suaranya mengucapkan kalimat-kalimat itu. Kembali dia
memandangku, dan kacamata hitamnya dia lepas. Aku seperti melihat pelangi di
kelopak mata itu, binar nan cemerlang.
Aku hanya mengangguk. Tertegun aku
memandang, dan seperti dada semakin sesak oleh debaran jantung yang kian tak
teratur. Pun tenggorokan seperti terhalang sekat, tak ada resonansi. Kalimatnya
telah membunuh aksaraku pun nadiku seperti berhenti berdenyut. Candaku terjawab
keseriusan yang mendalam, haru biru aku dibuatnya. Aku memeluknya erat, dan
lebih erat.
“Rindu ini masih ada untukmu” bisikku
di telinganya dan perlahan aku melepas pelukan itu. Dia menggenggam erat
tanganku.
“Aku ingin menghabiskan hidupku dalam
dua waktu, sekarang di dekatmu dan selamanya bersamamu. Genggam erat tanganku
selalu, dan aku siap mengikuti segala inginmu. Perpisahan kita dulu adalah
pelajaran besar bagiku, dan aku tak ingin melakukan kesalahan itu. Biarkan
pusara lembab ini menjadi saksi” berakhir kalimat yang meluncur dari belah
bibirnya, kupeluk kembali dirinya dan kenangan-kenangan lama. Aku mesti tinggal
lebih lama di kampungku, sesuatu yang tak kuduga.
Zahir Makkaraka
Alumni Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar
Berumah di http://abdulzahir86.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar