TAKALAR, TRUNGKA.COM - Ramadhan mengandung makna
“pembakaran,”—identik dengan purgatorio dalam karya penyair Dante—Divine
Comedy. Ibarat terpisahnya emas dari logam yang merengkuhnya justru ketika
dibakar pada titik didih tertentu.
Di bulan ini, manusia diberi
kesempatan oleh Allah untuk membersihkan diri dari kegelapan dosa (zhulmâni)
yang sejauh ini menutupi hati yang “bercahaya”. Di titik ini, manusia
tercerabut dari kebahagiaan (paradiso) kesucian primordialnya (fitrah) dan tercampak
dalam kegetiran dosa (inferno).
Itu sebab,
manusia-cahaya—seperti alegorisme Alqur’an—adalah manusia yang bergegas bangkit
dan melepaskan diri dari selubung “diri-gelap” menuju “diri-cahaya” yang
autentik: min al-zhulumâti ila al-nûr.
Di sini alam purgatorio
ramadhan terkait erat dengan ide latihan (riyâdhah), yaitu latihan sang-aku
menyelami “pusat” dirinya yang autentik agar tidak jatuh ke lembah syahwat dan
dosa.
Dalam tradisi Abrahamic
Religions—Yahudi, Kristen, dan Islam—simbol “kejatuhan” manusia primordial dan
terusir dari alam paradiso, diwakili oleh narasi tentang Adam dan Hawa.
Meski kedua insan pertama itu
pada urutannya mendapat ampunan Tuhan karena teguh menjalankan
“kalimat-kalimatNya” (Qs. 2: 37), namun mereka mewariskan anak cucu yang
kesucian asal-usulnya selalu terancam jatuh.
Sebab itu, setiap orang
berpotensi untuk jatuh martabat dan terjebak pada diri-tak-autentik alias palsu.
Latihan menahan diri (shiyâm)
di alam purgatorio ramadhan bersumbu pada latihan untuk “membakar” diri-palsu
agar menemukan diri-autentik dan sepenuhnya menghayati “Kemahahadiran Tuhan”
(al-Hudhûrî) dalam hidup keruhanian yang paling sublim.
Sebuah episentrum cahaya yang
membawa manusia-puasa menemukan kesucian asalnya yang sirna dan kembali ke
fitrah (‘îd al-fithr). Pada momen ini aku-puasa berada pada puncak-terdalam
kebahagiaan sejati paradiso, karena berhasil menemukan kembali dirinya yang
autentik.
Dengan begitu puasa lebih
merupakan manifestasi kongkret dari firman Allah: “Dia (Allah) bersama kamu di
manapun kamu berada, dan Allah Maha Awas akan segala sesuatu yang kamu perbuat”
(Qs. 57:4).
Seorang manusia-puasa selalu
merasa terdeteksi oleh Allah karena “Kemanapun kamu menghadap di sanalah Wajah
Allah”. “Kami (Allah) lebih dekat dari urat lehernya sendiri (Qs. 50:16);
“Allah menyekat antara seseorang dengan hatinya sendiri” (Qs. 8:24).
Kesadaran akan Kemahahadiran
Tuhan yang selalu “mendeteksi” segenap aktivitas hamba-hambaNya (zhahir dan
batin) inilah yang jadi fondasi jika bukannya inti ketakwaan yang akan
membimbing seseorang melakukan kerja-kerja pencerahan, kreatif, memelihara
kemuliaan dan martabat diri. Di sini pula esensi mengapa “puasa” dan “takwa”
terpaut erat.
Kualitas manusia-takwa, karena
itu, adalah diri-autentik yang tercerahkan secara moral, intelektual,
spiritual, dan soasial: Satu lokus kesadaran-diri yang sejauh ini justru
tercerabut dari hiruk pikuk kehidupan hedonistik yang silau dengan materi.
(ist/kdm)
0 komentar:
Posting Komentar