TAKALAR,
TURUNGKA.COM -
Ini bukan status soal feminisme. Pun gak bakal menyoal persoalan ketidakadilan
gender dalam kehidupan. Terlepas benar atau tidaknya penggunaan judul di atas,
yang jelas kata feminisasi sekedar dipakai ala kadarnya di sini. Sebatas
menunjukkan adanya kecenderungan yang menjadikan sosok ayah menjadi kelihatan
lebih feminim. Kata feminim sengaja dipilih dalam tulisan rada ngawur ini untuk
menggantikan kata bencong. Karena faktanya, kata Ayah memang banyak
dipopulerkan wangsa waria di Makassar.
Trend
sapaan ayah yang makin populer di negeri anging mamiri itu terkesan semakin
massif saja utamanya di sosmed. Awalnya saya tidak begitu paham maksud
teman-teman di Makassar yang sering menggunakan kata Ayah untuk menyapa. Saya
pikir itu sebatas bahasa gaul yang baru trendy. Namun setelah saya membaca
berita di salah satu portal berita di kota daeng, saya jadi mengerti bahwa
fenomena kata ayah lebih dari itu bahkan telah mengalami pergeseran makna.
Kini
kata ayah telah mengalami desakralisasi. Dulu, kata ayah adalah representasi
figur yang sangat dihormati bahkan ditakuti. Seorang anak kecil bisa jadi urung
niatnya mengambil galah demi mendapatkan buah mangga tetangga hanya dengan
ancaman “awas klo nanti ketahuan ayahmu”. Berbeda dengan sekarang di mana ayah
telah menjadi figur yang lain. Tidak lagi memiliki arti sebagai Bapak biologis
atau ideologis semata melainkan juga sebagai sapaan para banci pada kekasihnya.
Tidak jauh beda dengan binatang kesayangan yang harus dimanjakan agar bisa
menjadi penjaga yang selalu siap menggonggong dan menggigit di kala ada yang
mencoba mengganggu.
Kata
ayah juga telah mengalami proses pelembutan. Dulu Ayah itu kesannya sangat
gentle dan maskulin. Seorang anak akan selalu membangga-banggakan ayahnya
sampai-sampai selalu menjadi sosok pahlawan dalam kehidupannya. Terkadang kita
mendegar ungkapan Ayah is my Hero, is the best, dsb. Tapi sekarang kata Ayah
cenderung lebih feminim. Bahkan cukup menggelikan. Gimana tidak kedengaran
geli, jika anda mendengar di lapangan futsal ada seorang cowok yang bertampang
gagah nan atletis tiba-tiba berteriak “ngoper bolanya jangan terlalu kencang,
Ayah”. Jika anda cowok normal pasti akan bergumam dalam hati: “sumpah, rasanya
pengen lempar muka dia pake sepatu bola”.
Dan
jujur saja, saya pun agak terganggu dengan feminisasi kata ayah itu. Meskipun
Ayah itu juga kadang bisa sangat lembut terhadap anaknya, tapi tetap saja Ayah
itu jauh dari kesan alay apalagi dekat dengan dunia banci di mata saya.
Meskipun kadang kawan saya berkata berkata bahwa saya beruntung bisa dekat dan
akrab dengan ayah, tapi tetap saja saya sangat takut saat ayah saya marah.
Pernah secara tidak sengaja saya menembak adik dengan pistol mainan di saat
ayah sedang tidur siang. Saat tangis adik saya pecah, meraung dan mengagetkan
seisi rumah sontak Ayah terbangun dan memukul saya. Tidak sampai di situ, saya
malah diajak duel dengan badik (senjata tajam khas sulawesi). Karena saya diam
dan tunduk saja ditantang olehnya, Ayah kemudian masuk ke dalam kamar dan
mengambil parang yang lebih besar yang selalu tergantung di sudut kamarnya.
Tapi saya diam saja dan berdiri mematung walau parang itu sudah terhunus di
depan mata saya. Dan beruntung waktu itu Ibu saya segera datang menghalangi
lalu menggoyang badan saya yang bengong dan menyuruh saya lari dan pergi untuk
bersembunyi.
Waktu
itu saya bersembunyi di rumah tetangga. Setelah sore saya pulang kerumah dan
menghindari kontak mata dengan ayah saya. Tapi saat makan malam, Ayah tiba-tiba
memanggil saya dan mengajak makan. Saya nurut saja sambil tunduk dalam-dalam
dan diam seribu bahasa. Ayah saya malah senyum dan bilang jangan diulangi lagi
yah! Keesokan harinya, sebelum berangkat ke sekolah, saya malah diberi uang
jajan sambil mengusap-usap rambut saya. Hadiah yang sangat spesial bagi saya
yang nota bene tidak mendapat alokasi dana khusus buat jajan di sekolah sejak
SD. Sejak saat itu, saya selalu berusaha menjadi anak baik jika di rumah.
Meskipun kadang-kadang jadi anak brengsek saat di luar.
Sejak
fenomena bencongisasi Ayah, saya agak geli bahkan merasa alergi jika sesorang
memanggil saya Ayah. Ga jauh beda rasanya saat dipanggil sayang oleh seorang
yang berkumis tebal berseragam tukang parkir dan berkata: “moter e ojo diparkir
disitu. nang kene iki loh, sayang.” Mendengar itu, rasanya seperti mw masukin
kepala bapak itu ke comberan.
Jadi
plis, jika anda cowok, jangan panggil saya Ayah. okkay!?
Noorwahid Sofyan, jebolan pascasarjana UGM Yogyakarta, berprofesi sebagai dosen dan seorang pengamat budaya.
Mantap tulisannya Ayah.....
BalasHapusHa ha ha ha..